Selasa, 24 November 2015

Etika Profesi Akuntansi Pertemuan Ke-3 | Profesi

Nama    : Setiyanti Rianta
NPM     : 26212947
Kelas     : 4EB18
Dosen    : Sri Wahyu Handayani


1.    Pengertian profesi?
Kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma – norma sosial dengan baik.

2.    Ciri – ciri profesi?
·  Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini  dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
·  Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
·  Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
·  Izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
·     Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.

3.    Prinsip – prinsip etika profesi?
·     Pertama, Prinsip Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam – macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.

·      Prinsip Kedua, Prinsip Keadilan
Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang – orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya. Prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas – luasnya .jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda – bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.

·     Prinsip Ketiga, Prinsip Otonomi
Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu – rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.
Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

·     Prinsip integritas moral
Berdasarkan hakikat dan ciri – ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam melayani masyarakat.

4.    Sebutkan prinsip – prinsip umum etika bisnis! Jelaskan!
·     Prinsip Otonomi dalam Etika Bisnis
Prinsip otonomi dalam etika bisnis adalah bahwa perusahaan secara bebas memiliki kewenangan sesuai dengan bidang yang dilakukan dan pelaksanaannya sesuai dengan visi dan misi yang dipunyainya. Contoh prinsip otonomi dalam etika binis : perusahaan tidak tergantung pada pihak lain untuk mengambil keputusan tetapi perusahaan memiliki kekuasaan tertentu sesuai dengan misi dan visi yang diambilnya dan tidak bertentangan dengan pihak lain.
Dalam prinsip otonomi etika bisnis lebih diartikan sebagai kehendak dan rekayasa bertindak secara penuh berdasar pengetahuan dan keahlian perusahaan dalam usaha untuk mencapai prestasi – prestasi terbaik sesuai dengan misi, tujuan dan sasaran perusahaan sebagai kelembagaan. Disamping itu, maksud dan tujuan kelembagaan ini tanpa merugikan pihak lain atau pihak eksternal.
Dalam pengertian etika bisnis, otonomi bersangkut paut dengan kebijakan eksekutif perusahaan dalam mengemban misi, visi perusahaan yang berorientasi pada kemakmuran, kesejahteraan para pekerjanya ataupun komunitas yang dihadapinya. Otonomi disini harus mampu mengacu pada nilai-nilai profesionalisme pengelolaan perusahaan dalam menggunakan sumber daya ekonomi. Kalau perusahaan telah memiliki misi, visi dan wawasan yang baik sesuai dengan nilai universal maka perusahaan harus secara bebas dalam arti keleluasaan dan keluwesan yang melekat pada komitmen tanggung jawab yang tinggi dalam menjalankan etika bisnis.
Dua perusahaan atau lebih sama – sama berkomitmen dalam menjalankan etika bisnis, namun masing – masing perusahaan dimungkinkan menggunakan pendekatan berbeda – beda dalam menjalankannya. Sebab masing – masing perusahaan dimungkinkan menggunakan pendekatan berbeda-beda dalam menjalankannya. Sebab masing-masing perusahaan memiliki kondisi karakter internal dan pendekatan yang berbeda dalam mencapai tujuan, misi dan strategi meskipun dihadapkan pada kondisi dan karakter eksternal yang sama. Namun masing – masing perusahaan memiliki otoritas dan otonomi penuh untuk menjalankan etika bisnis. Oleh karena itu konklusinya dapat diringkaskan bahwa otonomi dalam menjalankan fungsi bisnis yang berwawasan etika bisnis ini meliputi tindakan manajerial yang terdiri atas : (1) dalam pengambilan keputusan bisnis, (2) dalam tanggung jawab kepada : diri sendiri, para pihak yang terkait dan pihak-pihak masyarakat dalam arti luas.

·       Prinsip Kejujuran dalam Etika Bisnis
Prinsip kejujuran dalam etika bisnis merupakan nilai yang paling mendasar dalam mendukung keberhasilan kinerja perusahaan. Kegiatan bisnis akan berhasil jika dikelola dengan prinsip kejujuran. Baik terhadap karyawan, konsumen, para pemasok dan pihak-pihak lain yang terkait dengan kegiatan bisnis ini. Prinsip yang paling hakiki dalam aplikasi bisnis berdasarkan kejujuran ini terutama dalam pemakai kejujuran terhadap diri sendiri. Namun jika prinsip kejujuran terhadap diri sendiri ini mampu dijalankan oleh setiap manajer atau pengelola perusahaan maka pasti akan terjamin pengelolaan bisnis yang dijalankan dengan prinsip kejujuran terhadap semua pihak terkait.

·        Prinsip Keadilan dalam Etika Bisnis
Prinsip keadilan yang dipergunakan untuk mengukur bisnis menggunakan etika bisnis adalah keadilan bagi semua pihak yang terkait memberikan kontribusi langsung atau tidak langsung terhadap keberhasilan bisnis. Para pihak ini terklasifikasi ke dalam stakeholder. Oleh karena itu, semua pihak ini harus mendapat akses positif dan sesuai dengan peran yang diberikan oleh masing-masing pihak ini pada bisnis. Semua pihak harus mendapat akses layak dari bisnis. Tolak ukur yang dipakai menentukan atau memberikan kelayakan ini sesuai dengan ukuran-ukuran umum yang telah diterima oleh masyarakat bisnis dan umum. Contoh prinsip keadilan dalam etika bisnis : dalam alokasi sumber daya ekonomi kepada semua pemilik faktor ekonomi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan harga yang layak bagi para konsumen, menyepakati harga yang pantas bagi para pemasok bahan dan alat produksi, mendapatkan keuntungan yang wajar bagi pemilik perusahaan dan lain – lain.

·        Prinsip Hormat Pada Diri Sendiri dalam Etika Bisnis
Prinsip hormat pada diri sendiri dalam etika bisnis merupakan prinsip tindakan yang dampaknya berpulang kembali kepada bisnis itu sendiri. Dalam aktivitas bisnis tertentu ke masyarakat merupakan cermin diri bisnis yang bersangkutan. Namun jika bisnis memberikan kontribusi yang menyenangkan bagi masyarakat, tentu masyarakat memberikan respon sama. Sebaliknya jika bisnis memberikan image yang tidak menyenangkan maka masyarakat tentu tidak menyenangi terhadap bisnis yang bersangkutan. Namun jika para pengelola perusahaan ingin memberikan respek kehormatan terhadap perusahaan, maka lakukanlah respek tersebut para pihak yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Segala aspek aktivitas perusahaan yang dilakukan oleh semua armada di dalam perusahaan, senantiasa diorientasikan untuk memberikan respek kepada semua pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Dengan demikian, pasti para pihak ini akan memberikan respek yang sama terhadap perusahaan. Sebagai contoh prinsip hormat pada diri sendiri dalam etika bisnis : manajemen perusahaan dengan team work-nya memiliki falsafah kerja dan berorientasikan para pelanggan akan makin fanatik terhadap perusahaan. Demikian juga, jika para manajemennya berorientasikan pada pemberian kepuasan kepada karyawan yang berprestasi karena sepadan dengan prestasinya maka dapat dipastikan karyawan akan makin loyal terhadap perusahaan.

5.    Jelaskan prinsip bisnis dan manajemen Matsushita Inc.!
Pada bulan Juli 1933 Konosuke Matsushita memberi beberapa prinsip berikut ini yang menjadi pedoman kegiatan sehari – hari dan menjadi pendorong bagi setiap orang dalam perusahaannya:
·      Semangat pelayanan melalui industri (yang dijalankan perusahaan itu)
·      Semangat fairness
·      Semangat harmoni dan kerjasama
·      Semangat kerja keras untuk maju
·      Semangat hormat dan rendah hati
·      Semangat mengikuti hukum alam
·      Semangat bersyukur

Selain prinsip – prinsip tersebut, Matsushita percaya bahwa “setiap perusahaan, betapapun kecilnya, harus mempunyai tujuan – tujuan yang jelas selain mengejar keuntungan. Tujuan – tujuan itulah yang membenarkan keberadaaannya di tengah kita. Bagi saya, tujuan – tujuan seperti itu merupakan suatu panggilan, suatu misi sekular bagi dunia ini. Kalau pejabat eksekutuf utama ialah memiliki nilai ini, ia dapat memberitahukan para pegawainya yang ingin dicapai oleh perusahaan itu, dan menjelaskan hakikat serta cita – citanya. Jika para pegawainya memahami bahwa mereka tidak hanya bekerja untuk sesuap nasi, mereka akan dimotivasi untuk bekerja keras secara bersama demi mewujudkan tujuan bersama tadi. Dalam proses tersebut mereka akan belajar lebih dari yang mereka peroleh kalau tujuan mereka hanya dibatasi pada skala upah saja. Mereka akan mulai tumbuh sebagai manusia, sebagai warga negara, dan sebagai orang bisnis.
Bagi Matsushita, prinsip yang juga perlu dipegang adalah bahwa entah Anda berhubungan dengan industri khusus tertentu, sebuah komunitas atau sebuah bangsa, hal yang paling penting untuk diingat adalah memperhatikan kebaikan semua pihak hal yang paling penting untuk diingat setelah memperhatikan kebaikan semua pihak secara keseluruhan. Pada akhirnya kepentinganmu sendiri paling bisa dijamin kelas kepentingan semua orang terlayani.


Sumber:

Untung, Budi. 2012. Hukum dan Etika Bisnis. CV Andi Offset : Yogyakarta.

Senin, 09 November 2015

Etika Profesi Akuntansi Tugas Pertemuan Ke-2 | Cari Kasus tentang "Penyalahgunaan Etika Profesi Akuntansi"

Nama    : Setiyanti Rianta
NPM     : 26212947
Kelas     : 4EB18
Dosen    : Sri Wahyu Handayani

Kasus Penyalahgunaan Etika Profesi Akuntansi


Incar Sekda Inhu, Jaksa Desak BPK Audit Kerugian Negara
Reporter : Abdullah Sani | Jumat, 12 Desember 2014 16:41

Merdeka.com - Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Rengat, Provinsi Riau, Teuku Rahman meminta agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau memberikan hasil audit yang diminta penyidik Kejari Rengat atas kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi dana APBD Inhu tahun 2011 dan 2012 sebesar Rp 2,8 Miliar.
Pasalnya, sudah berbulan-bulan permintaan audit yang diajukan Kejari Rengat tidak dilayani dengan baik oleh BPK RI Perwakilan Riau tanpa alasan yang jelas.
Desakan ini disampaikan Teuku Rahman mengingat masa jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintahan Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Erisman yang diincar Jaksa bakal berakhir akhir bulan Desember tahun 2014 ini.
"Sekda Inhu selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam kasus dugaan korupsi APBD Inhu Rp 2,8 miliar. Kami mendesak BPK agar segera menyampaikan hasil audit kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi tersebut sebelum masa jabatannya berakhir karena pensiun," ujar Kajari Rengat Teuku Rahman, Jum'at (12/12).
Menurut Teuku Rahman, permintaan audit kerugian negara dalam dugaan korupsi yang dilakukan dua orang bendahara di sekretariat daerah Inhu, telah disampaikan penyidik Kejari Rengat kepada BPK Riau sejak bulan Februari 2014.
"Kemudian dilanjutkan dengan penyampaian kelengkapan data - data pada bulan Maret 2014," jelasnya.
Namun, kata Teuku Rahman, hingga saat ini atau sampai menjelang jabatan Sekda Inhu berakhir permintaan audit tersebut belum ditanggapi pihak BPK RI perwakilan Riau.
"Permintaan audit yang kita sampaikan kepada BPK Riau untuk keperluan penyidikan dan pengembangan kasus dugaan korupsi APBD Inhu sebesar Rp 2,8 miliar," keluhnya.
Namun, hingga saat ini atas kasus tersebut, pihaknya yang telah menetapkan dua orang mantan bendahara di sekretariat daerah Inhu sebagai tersangka dan telah menahan kedua orang tersebut di Rutan Rengat.
Teuku Rahman menegaskan jika dalam beberapa hari ke depan pihak BPK Riau belum juga menyerahkan permintaan hasil audit, maka penyidik Kejari Rengat akan melanjutkan kasus dugaan korupsi tersebut berdasarkan temuan yang ada.
"Sebenarnya kami sudah memegang Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang terkait dengan dugaan kasus korupsi APBD Inhu sebesar Rp 2,8 miliar itu," jelasnya.
Tetapi, kata Teuku, pihaknya memperoleh dari berkas laporan masyarakat yang mengadukan kasus tersebut kepada penyidik Kejari Rengat.
"Selama ini kami masih menunggu hasil audit BPK, tapi kalau tidak juga ada maka kasus ini kami lanjutkan dengan hasil temuan dari penyidikan kami," terangnya.
Teuku juga menyatakan bahwa untuk melanjutkan penyidikan dengan temuan penyidik Kejari Rengat telah mendapat perintah dari Kepala Kejaksaan Tinggi Riau.
"Ya, saya sudah menerima perintah dari Kejati Riau, untuk melanjutkan pengembangan penyidikan berdasarkan temuan yang ada tanpa menunggu hasil audit BPK," tandasnya.
____________________________________________

Tergolong ke penyalahgunaan etika apa?
Badan Pemeriksa Keuangan melanggar prinsip etika prilaku profesional karena dianggap lamban untuk menyelesaikan kasus-kasusnya.

Penyebab :
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menjalankan tanggung jawabnya sebagai auditor profesional karena lamban dalam menyelidiki dugaan kasus korupsi yang terdapat di Provinsi Riau. Tindakan BPK yang mengulur waktu dalam memberikan hasil audit yang diminta penyidik Kejari Rengat atas kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi dana APBD Inhu tahun 2011 dan 2012 sebesar Rp 2,8 Miliar yang dilakukan oleh dua orang bendahara sekretariat di daerah Inhu, dinilai dapat menghambat kepentingan publik karena sudah berbulan-bulan permintaan audit yang diajukan Kejari Rengat tidak dilayani dengan baik oleh BPK RI Perwakilan Riau tanpa alasan yang jelas.

Akibat :
Tindakan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan RI telah mencoreng  namanya sebagai Auditor. Akibatnya BPK akan kehilangan kepercayaan yang telah ditanamkan masyarakat terhadapnya selama ini. Dikarenakan sejumlah kasus korupsi yang belum di audit perhitungan kerugian Keuangan Negara oleh BPK.


Rabu, 30 September 2015

Etika Profesi Akuntansi Tugas Pertemuan Ke-1 | Review Jurnal

Nama    : Setiyanti Rianta
NPM     : 26212947
Kelas     : 4EB18
Dosen    : Sri Wahyu Handayani


  • Review Jurnal tentang "Etika Profesi Akuntansi"


ANALISIS PERBEDAAN PERILAKU ETIS AUDITOR DI KAP DALAM ETIKA PROFESI

(STUDI TERHADAP PERAN FAKTOR-FAKTOR INDIVIDUAL: LOCUS OF CONTROL, LAMA PENGALAMAN KERJA, GENDER, DAN EQUITY SENSITIVITY )

PUTRI NUGRAHANINGSIH


Alumni Fakultas Ekonomi UNS

ABSTRACT
This study purposes to examine whether there is different of ethical behaviour between auditors based on individual factors (locus of control, years of job experience, gender, and equity sensitivity) and to find out how perception of auditorss toward the ethic code of Indonesian accountants associate. The populations of the research are auditors who work in public accountant office in Surakarta and Yogyakarta. This research  uses convenience sampling method to collect sample
The result of hypothesis test shows there is significantly ethical behaviour differences between internal locus of control auditors and external locus of control auditors, between senior auditors and junior auditors, and between benevolents auditors and entitleds auditors and also there is no significantly ethical behaviour differences between men auditors and women auditors.
The result of additional analysis using proportion test shows that all of respondents (auditors) in this research have positive perception toward the ethic code of Indonesian accountants associate, so all of respondents have ethical behaviour, although have different level from each individual based on different of  their individual factors.

Keywords:  ethical behaviour, auditors, profession ethics, perception, the ethic code of  the Indonesian accountants associate, internal locus of control, external locus of control, senior, junior, men, women, entitleds, benevolents.


PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah
Banyak masalah yang terjadi pada berbagai kasus bisnis yang ada saat ini melibatkan profesi akuntan. Sorotan yang diberikan kepada profesi ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya praktik-praktik profesi yang mengabaikan standar akuntansi bahkan etika. Perilaku tidak etis merupakan isu yang relevan bagi profesi akuntan saat ini. Di Indonesia, isu mengenai etika akuntan berkembang seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran etika, baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern, maupun akuntan pemerintah (Ludigdo,1999). Pengembangan dan kesadaran etik/moral memainkan peran kunci dalam semua area profesi akuntansi (Louwers et al. dalam Muawanah dan Indriantoro, 2001). Profesi akuntan tidak terlepas dari etika bisnis yang mana aktivitasnya melibatkan aktivitas bisnis yang perlu pemahaman dan penerapan etika profesi seorang akuntan serta etika bisnis (Ludigdo dan Machfoedz, 1999).
Akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi dimana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri. Akuntan mempunyai tanggungjawab menjadi kompeten dan untuk menjaga integritas dan obyektivitas mereka. Analisis terhadap sikap etis dalam profesi akuntan menunjukkan bahwa akuntan mempunyai kesempatan untuk melakukan tindakan tidak etis dalam profesi mereka (Fine et al. dalam Husein, 2004. Kesadaran etika dan sikap profesional memegang peran yang sangat besar bagi seorang akuntan (Louwers et al. dalam Husein, 2004). Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan secara terus menerus berhadapan dengan dilema etik yang melibatkan pilihan antara nilai-nilai yang bertentangan. Dilema etis dalam setting auditing misalnya, dapat terjadi ketika auditor dan klien tidak sepakat terhadap beberapa aspek fungsi dan tujuan pemeriksaan. Dalam situasi konflik seperti ini, maka pertimbangan profesional berlandaskan pada nilai dan keyakinan individu, kesadaran moral memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan akhir (Muawanah dan Indriantoro, 2001). Pembahasan mengenai perilaku dan keinginan untuk mengubah perilaku atau menciptakan perilaku yang diinginkan, pertama- tama perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut dan seberapa kuat pengaruh-pengaruh tersebut (Khomsiyah dan Indriantoro, 1998).
Penelitian ini mengambil starting point penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Fauzi (2001) yang meneliti tentang pengaruh perbedaan faktor-faktor individual berupa locus of control, disiplin akademis, pengalaman kerja dan equity sensitivity terhadap perilaku etis mahasiswa. Faktor utama yang menjadikan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu pada penelitian Fauzi (2001) hanya menganalisis perbedaan perilaku etis di tempat kerja secara umum, sedangkan dalam penelitian ini peneliti akan menganalisis perbedaan perilaku etis dan memfokuskan penelitian tentang persepsi auditor terhadap kode etik akuntan (etika profesi), sehingga variabel perilaku etis dalam penelitian ini akan difokuskan pada etika profesi. Penelitian ini menggunakan survei dengan memodifikasi instrumen penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Perbedaan kedua responden penelitian ini adalah auditor sedangkan pada penelitian Fauzi responden penelitian hanya diambil dari mahasiswa, dan penggunaan sampel akuntan (auditor) disarankan dalam penelitian Fauzi (2001) sebagai perbandingan dunia akademis dengan dunia kerja. Perbedaan ketiga dalam penelitian ini dengan menambahkan satu variabel atribut individu yaitu gender. Penelitian sebelumnya berkaitan dengan pengaruh gender terhadap etika telah banyak dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa penelitian sebelumnya berkaitan dengan pengaruh gender terhadap etika menunjukkan hasil yang berbeda-beda dan belum konsisten, selain itu penelitian di Indonesia belum begitu banyak yang meneliti masalah ini (Winarna, 2003).
Perbedaan yang keempat adalah mengubah definisi dan pengukuran variabel pengalaman kerja menjadi lama pengalaman kerja. Pengubahan ini didasarkan pada responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini, yaitu auditor yang tentunya telah memiliki pengalaman kerja. Hal ini juga didukung UU no.34 tahun 1954 yang mengatur penggunaan sebutan akuntan. Untuk dapat berpraktik sebagai akuntan publik terdaftar, diperlukan izin dari Departemen Keuangan, yaitu adanya persyaratan pengalaman, minimal 3 tahun bekerja sebagai auditor pada KAP atau BPKP. Dalam penelitian sebelumnya pengalaman kerja diukur berdasarkan ada atau tidaknya pengalaman kerja. Pada penelitian ini, pengalaman kerja tidak diukur berdasarkan ada atau tidaknya pengalaman kerja, melainkan diukur dari lamanya bekerja yaitu termasuk dalam kategori auditor senior dan kategori auditor yunior. Pembagian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Budiyanti (dalam Widiastuti, 2003).
Pada penelitian ini tidak terdapat pengujian terhadap variabel disiplin akademis disebabkan sampel yang digunakan adalah auditor, sedangkan sampel pada penelitian Fauzi (2001) adalah mahasiswa yang dibagi menjadi akuntansi dan manajemen. Hal ini juga dilandasi oleh UU no.34 tahun 1954 yang mengatur penggunaan sebutan akuntan. Untuk dapat berpraktik sebagai akuntan publik terdaftar, diperlukan izin dari Departemen Keuangan, yaitu adanya persyaratan pendidikan, diperlukan gelar sarjana ekonomi jurusan akuntansi dari fakultas ekonomi Universitas Negeri yang telah mendapatkan persetujuan dari Panitia Ahli Persamaan Ijazah Akuntan. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa auditor berasal dari disiplin akademis akuntansi, sehingga tidak terdapat perbedaan faktor individual disiplin akademis


Perumusan Masalah

Perumusan permasalahan  dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah  terdapat  perbedaan  perilaku  etis  yang  signifikan  antara  auditor dengan
internal locus of control dan auditor dengan external locus of control?
2.      Apakah terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor senior dan auditor yunior?
3.      Apakah terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor pria dengan auditor wanita?
4.      Apakah terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor yang termasuk kategori benevolents dan auditor yang termasuk kategori entitleds?



Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris apakah terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor berdasarkan perbedaan faktor-faktor individualnya yaitu sebagai berikut:
1.      Perilaku  etis  antara  auditor  dengan  internal  locus  of  control  dan  auditor dengan
external locus of control.
2.      Perilaku etis antara auditor senior dan auditor yunior.
3.      Perilaku etis antara auditor pria dan auditor wanita.
4.      Perilaku etis antara auditor yang termasuk kategori benevolents dan auditor yang termasuk kategori entitleds.


LANDASAN TEORI


Persepsi
Persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya (Ludigdo, 1999). Persepsi mencakup penerimaan, pengorganisasian, dan penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap (Retnowati, 2003). Gibson (dalam Retnowati, 2003) menyatakan ada beberapa faktor penting khusus yang menyebabkan perbedaan individual dalam perilaku yaitu persepsi, sikap, kepribadian dan belajar. Melalui pemahaman persepsi individu, seseorang dapat meramalkan bagaimana perilaku individu itu didasarkan pada persepsi mereka mengenai apa realita itu, bukan mengenai apa realita itu sendiri (Retnowati, 2003).



Etika Dan Perilaku Etis


Perilaku yang beretika dalam organisasi adalah melaksanakan tindakan secara  fair sesuai hukum konstitusional dan peraturan pemerintah yang dapat diaplikasikan (Steiner dalam Reiss dan Mitra, 1998). Harsono (1997) menyimpulkan bahwa  etika adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah benar dan salah. Etika profesi merupakan etika khusus yang menyangkut dimensi sosial. Etika profesi khusus berlaku dalam kelompok profesi yang bersangkutan, yang mana dalam penelitian ini adalah akuntan.
Perilaku etis juga sering disebut sebagai komponen dari kepemimpinan, yang mana pengembangan etika adalah hal penting bagi kesuksesan individu sebagai  pemimpin suatu organisasi (Morgan, 1993). Larkin (2000) juga menyatakan bahwa kemampuan untuk dapat mengidentifikasi perilaku etis dan tidak etis sangat berguna dalam semua profesi termasuk auditor. Apabila seorang auditor melakukan tindakan- tindakan yang tidak etis, maka hal tersebut akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi auditor itu (Khomsiyah dan Indriantoro, 1998).



Peran Kode Etik Akuntan Indonesia


Kode etik akuntan merupakan norma perilaku yang mengatur hubungan antara auditor dengan para klien, antara auditor dengan sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai auditor, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di ingkungan dunia pendidikan. Etika profesional bagi praktik auditor di Indonesia dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (Sihwahjoeni dan Godono, 2000).



Faktor-Faktor Individual


Penelitian ini akan meneliti faktor-faktor individual meliputi locus of control (LOC), lama pengalaman kerja, gender, dan equity sensitivity. Locus of control (LOC) adalah cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau tidak dapat mengendalikan (control) peristiwa yang terjadi padanya (Rotter dalam Prasetyo, 2002). Reiss dan Mitra (1998)   membagi locus of control   menjadi dua, yaitu: internal locus   of control adalah cara pandang bahwa segala hasil yang didapat, baik atau buruk adalah karena tindakan, kapasitas dan faktor-faktor dari dalam diri mereka sendiri. External  locus of control adalah cara pandang dimana segala hasil yang didapat, baik atau buruk berada diluar kontrol diri mereka tetapi karena faktor luar seperti keberuntungan, kesempatan, dan takdir. Individu yang termasuk dalam kategori ini meletakkan tanggung jawab diluar kendalinya.
Lama pengalaman kerja (Years Of Job Experience). Widiastuti (2003) yang membagi level hierarkis auditor (akuntan publik) menjadi dua yaitu termasuk kategori senior apabila telah bekerja lebih dari dua tahun dan yunior di bawah dua tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi secara signifikan terhadap kode etik akuntan Indonesia diantara auditor senior dan auditor yunior. Perilaku etis antara auditor senior dan auditor yunior akan dipengaruhi oleh lama pengalaman kerja yang mana selama bekerja sebagai seorang auditor dihadapkan dengan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perilaku etis (Prasetyo, 2004).
Konsep gender dalam penelitian ini berdasarkan konsep seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan kodrat yang ditentukan secara biologis (Rahmawati, 2003). Pria dan wanita akan menunjukkan perbedaan dalam perilaku dalam bertindak didasarkan pada sifat yang dimiliki dan kodrat yang telah diberikan secara biologis. Reiss dan Mitra melakukan penelitian tentang efek dari perbedaan faktor-faktor individual dalam kemampuan menerima perilaku etis atau tidak etis. Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih etis dibandingkan pria.
Equity berhubungan dengan fairness (keadilan) yang dirasakan seseorang dibanding orang lain (Sashkin dan Williams dalam Fauzi, 2001. Equity sensitivity mencoba menjelaskan perbedaan perilaku etis dan tidak etis yang disebabkan oleh karakteristik individual (Fauzi, 2001). Chhokar et al. (dalam www.yahoo.com) mengemukakan konsep yang dikembangkan melalui equity theory oleh Adam bahwa terdapat tiga tipe individu yaitu individu equity sensitives yang merasa adil ketika inputs sama dengan outputs, individu benevolents merasa adil (equity) ketika inputs lebih besar dari outputs, dan individu entitleds merasa adil (equity) ketika outputs lebih besar dari inputs.


Penelitian Terdahulu

Reiss dan Mitra (1998) mengadakan penelitian tentang efek dari perbedaan faktor individual dalam kemampuan menerima perilaku etis atau tidak etis. Hasil menunjukkan bahwa individu dengan internal locus of control cenderung lebih tidak menerima  tindakan tertentu yang kurang etis, sedangkan individu dengan external locus of control cenderung lebih menerima tindakan tertentu yang kurang etis. Wanita ditunjukkan lebih etis dibandingkan pria. Perbedaan disiplin akademis yaitu bisnis dan non bisnis  ditemukan tidak berpengaruh terhadap penilaian terhadap perilaku etis. Individu yang memiliki pengalaman kerja ditunjukkan cenderung lebih menerima tindakan yang kurang etis, dibandingkan individu yang tidak memiliki pengalaman kerja.
Fauzi (2001) melakukan penelitian mengenai pengaruh perbedaan faktor-faktor individual terhadap perilaku etis mahasiswa. Faktor-faktor individual yang diteliti berupa locus of control, disiplin akademis, pengalaman kerja , dan equity sensitivity. Hasil pengujian menunjukkan bahwa mahasiswa akuntansi dengan internal locus of control berperilaku lebih etis daripada mahasiswa akuntansi dengan external locus of control, terdapat perbedaan yang signifikan antara mahasiswa akuntansi dan manajemen, secara statistik mahasiswa akuntansi lebih etis dibanding mahasiswa manajemen, tidak ada perbedaan signifikan antara mahasiswa yang memiliki pengalaman kerja dan mahasiswa yang belum memiliki pengalaman kerja. Disimpulkan pula bahwa mahasiswa akuntansi yang termasuk kategori benevolents secara signifikan lebih etis daripada mahasiswa yang termasuk kategori entitleds.


Kerangka Teoritis

Peneliti mengajukan model penelitian sebagai berikut, perilaku etis dalam etika profesi  (auditor)  sebagai  variabel  yang  akan  diukur  dan  diperbandingkan  antara  dua kelompok individu (auditor) yang memiliki faktor-faktor individual yang berbeda (locus of control, lama pengalaman kerja, gender, dan equity sensitivity).





Hipotesis
Berdasarkan teori locus of control, bahwa perilaku auditor dalam situasi konflik akan dipengaruhi oleh karakteristik locus of control-nya. Individu dengan internal locus  of control akan lebih mungkin berperilaku etis dalam situasi konflik audit dibanding dengan individu dengan external locus of control (Muawanah dan Indriantoro, 2001). Berdasarkan landasan teori tersebut di atas maka peneliti menarik hipotesis dengan model seperti berikut:
H1: Terdapat perbedaan perilaku etis antara auditor dengan internal locus of control dan auditor dengan external locus of control.
Berdasarkan hasil penelitian Prasetyo (2004), peneliti mencoba mengkaitkannya dengan penelitian ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku etis antara auditor senior dan auditor yunior akan dipengaruhi oleh lama pengalaman kerja. Berdasarkan hasil penelitian di atas maka peneliti menarik hipotesis dengan model seperti berikut:
H2: Terdapat perbedaan perilaku etis antara auditor senior dan auditor yunior.
Pengertian jenis kelamin merupakan kodrat yang ditentukan secara biologis (Rahmawati, 2003). Ruegger dan King (dalam Reiss dan Mitra, 1998) menemukan bahwa gender merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan perilaku etis dan wanita lebih etis daripada pria dalam persepsi terhadap situasi etika bisnis. Reiss dan Mitra melakukan penelitian tentang efek dari perbedaan faktor-faktor individual dalam kemampuan menerima perilaku etis atau tidak etis. Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih etis dibandingkan pria. Berdasarkan hasil penelitian di atas maka peneliti menarik hipotesis dengan model seperti berikut:
H3: Terdapat perbedaan perilaku etis antara auditor pria dan auditor wanita.
Equity berhubungan dengan fairness (keadilan) yang dirasakan seseoang dibanding orang lain ( Sashkin dan Williams dalam Fauzi, 2001). Equity sensitivity mencoba menjelaskan perbedaan perilaku etis dan tidak etis yang disebabkan oleh karakteristik individual (Fauzi, 2001). Huseman (dalam Kickul dan Lester, 2003) menyebutkan pula tiga tipe individual yang memiliki berbagai tingkat sensitivity to  equity, yaitu benevolents, equity sensitives, dan entitleds. Penelitian Fauzi (2001) menunjukkan bahwa individu yang termasuk kategori benevolents secara signifikan lebih etis daripada individu yang termasuk kategori entitleds. Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian tersebut di atas maka peneliti menarik hipotesis dengan model seperti berikut:



H4:  Terdapat  perbedaan  perilaku  etis  antara  auditor  yang  termasuk   kategori
benevolents dan auditor yang termasuk entitleds.


METODE PENELITIAN

Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah para auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) wilayah Surakarta dan DIY. Untuk menentukan sampel dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode non probability sampling, yaitu convenience sampling method. Dalam metode ini, informasi akan dikumpulkan dari anggota populasi yang dapat ditemui dengan mudah untuk memberikan informasi tersebut.


Pengukuran Variabel: Definisi Operasional 

dan Instrumen Penelitian

Perilaku etis didefinisikan sebagai pelaksanaan tindakan fair sesuai hukum konstitusional dan peraturan pemerintah yang dapat diaplikasikan (Steiner dalam Reiss dan Mitra, 1998). Perilaku etis auditor adalah variabel yang akan diukur dalam penelitian ini. Variabel ini akan diukur dengan menggunakan instrumen Workplace Behaviour Scale (WBS) yang telah dikembangkan oleh Jones (1990). Workplace Behaviour Scale (WBS) terdiri dari 10 item pertanyaan dalam kuesioner yang diukur dengan 5 poin skala likert yaitu: (1) sangat dapat diterima, (2) dapat diterima, (3) tidak pasti, (4) tidak dapat diterima, dan (5) sangat tidak dapat diterima. Perilaku etis ditunjukkan oleh perolehan skor dari WBS, semakin tinggi skor WBS maka memiliki perilaku yang semakin etis, sebaliknya semakin sedikit skor WBS maka memiliki perilaku semakin kurang etis (Reiss dan Mitra, 1998). Pengukuran persepsi terhadap kode etik menggunakan “Pernyataan mengenai persepsi terhadap kode etik” yang telah dikembangkan oleh Sihwahjoeni dan Gudono (2000). Penelitian ini akan memfokuskan pada faktor-faktor atau substansi kode etik akuntan yang meliputi (1) pelaksanaan kode etik, dan (2) penafsiran dan penyempurnaan kode etik. Instrumen persepsi ini terdiri dari 11 item pertanyaan yang diukur dengan skala likert 1 sampai dengan 5 yaitu: (1) sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3) tidak pasti, (4) setuju, dan (5) sangat setuju. Peneliti mengasumsikan bahwa bagi responden yang berpersepsi positif terhadap kode etik yang meliputi pelaksanaan kode etik, dan penafsiran dan penyempurnaan kode etik akan memiliki perilaku  yang lebih etis. Untuk mengetahui bagaimana persepsi auditor terhadap kode etik maka dilakukan analisis tambahan yaitu dengan uji proporsi.
Locus of control (LOC). Locus of control (LOC) adalah cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau tidak dapat mengendalikan (control) peristiwa yang terjadi padanya (Rotter dalam Prasetyo, 2002). Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel locus of control adalah Work Locus of Control Scale (WLCS) yang telah dikembangkan oleh Spector (1988). WLCS menggunakan 16 item pertanyaan dengan 5 poin skala likert yaitu: (1) sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3) tidak pasti,
(4) setuju, dan (5) sangat setuju. Internal LOC ditunjukkan oleh nilai jawaban responden yang lebih kecil dari mean score dan sebaliknya untuk external LOC diindikasikan oleh nilai jawaban responden lebih besar dari mean score (Reiss dan Mitra, 1998; Fauzi,  2001).
Lama pengalaman kerja adalah jangka waktu (tahun) seorang auditor bekerja. Lama pengalaman kerja dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu mereka yang telah bekerja lebih dari dua tahun dikategorikan sebagai auditor senior dan mereka yang bekerja di bawah dua tahun sebagai auditor yunior. Pembagian ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Budiyanti (dalam Widiastuti, 2003). Data ini diperoleh dari kuesioner bagian D yaitu Data Demografi Responden. Konsep gender dalam penelitian  ini berdasarkan konsep seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan kodrat yang ditentukan secara biologis (Rahmawati, 2003). Dibagi menjadi dua yaitu pria dan wanita. Data ini diperoleh dari kuesioner bagian D yaitu Data Demografi Responden.
Equity berhubungan dengan fairness (keadilan) yang dirasakan seseoang dibanding orang lain ( Sashkin dan Williams dalam Fauzi, 2001) . Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel equity sensitivity adalah Equity Sensitivity Instrument (ESI) yang dikembangkan oleh Huseman (1985), yang terdiri dari 5 pertanyaan dengan



nilai ESI berkisar 0-10 untuk tiap pertanyaan. Untuk menskor instrumen, maka tambahkan poin-poin yang dialokasikan untuk respon benevolents (1a, 2a, 3b, 4b, 5b). Seorang individu akan masuk kategori entitleds apabila nilai < meanscore, dan kategori benevolents apabila nilai  > meanscore.


Sumber Dan Metode Pengumpulan Data

Data primer dikumpulkan melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden. Kuesioner ini akan dibagikan kepada responden untuk mengukur tingkat perilaku etis, equity sensitivity, dan locus of control. Selain itu kuesioner ini memuat data demografi responden yang dibutuhkan dalam analisis data. Penyebaran kuesioner kepada responden dilakukan dengan mendatangi KAP tempat responden bekerja, yaitu di Surakarta dan Yogyakarta. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber, yaitu: jurnal, sumber lain berupa buku, maupun skripsi dan tesis yang tidak diterbitkan dalam penelitian ini, dan dengan cara mendownload artikel diinternet.


Metode Analisis Data

Pengujian validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstrak (construct validity) dan teknik yang digunakan adalah dengan Pearson Product Moment. Teknik uji reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas konsistensi internal. Untuk mengukur konsistensi internal digunakan pengujian dengan teknik Cronbach’s Alpha. Teknik uji normalitas yang digunakan adalah One Sample Kolmogorov Smirnov Test, yaitu pengujian dua sisi yang dilakukan dengan membandingkan signifikansi hasil uji (p- value) dengan taraf signifikansi. Untuk menguji hipotesis digunakan alat uji statistik,  yaitu Independent Sample T-Test. Pada Independent Sample T-Test terdapat dua tahapan analisis yaitu Levene's Test dan T-Test (Santoso, 2001). Semua teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS version 11.0 for windows. Untuk mengetahui bagaimana persepsi auditor tentang kode etik maka dalam analisis tambahan digunakan uji proporsi. Uji proporsi ini dilakukan dengan menghitung persentase jawaban dari pernyataan mengenai persepsi terhadap kode etik. Jawaban dikelompokkan dalam format setuju dan tidak setuju untuk masing-masing responden

ANALISIS DATA

Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini menggunakan responden auditor di Yogyakarta dan Surakarta. Sampel auditor di Yogyakarta sebanyak 60 orang dari 6 KAP, kuesioner yang kembali adalah 41. Untuk responden auditor di Surakarta sebanyak 40 orang dari 4 KAP, kuesioner yang kembali adalah 29. Total kuesioner yang kembali adalah sebesar 70 buah, tetapi dari jumlah tersebut ada sebanyak 3 buah kuesioner yang gugur. Jadi total kuesioner yang memenuhi syarat untuk diolah adalah sebanyak 67 buah kuesioner.



Hasil Pengujian Data


Hasil uji validitas menunjukkan bahwa angka korelasi untuk semua item pertanyaan menunjukkan angka yang signifikan pada level 0,01, yang ditunjukkan  dengan tanda **, disamping itu dapat dilihat pula bahwa nilai p-value dari masing-masing item pertanyaan menunjukkan nilai lebih kecil dari taraf signifikansi yang ditentukan sebesar 5%. Kesimpulannya seluruh item pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini valid, sehingga dapat diikutsertakan dalam tahap pengujian selanjutnya. Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung Cronbach’s Alpha dari masing-masing instrumen dalam satu variabel. Kemudian besarnya nilai alpha yang dihasilkan dibandingkan dengan indeks (Wulandari dalam Widiastuti, 2003). Dari hasil uji reliabilitas dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini sangat andal atau tingkat reliabilitasnya sangat tinggi. Hasil pengujian normalitas menunjukkan nilai p-value sebesar 0,672. Nilai probabilitas ini lebih besar dari taraf signifikansi (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebaran data dalam penelitian ini adalah normal, sehingga uji hipotesis penelitian bisa dilakukan dengan menggunakan alat uji statistik parametrik.



Hasil Pengujian Hipotesis


Hasil pengujian normalitas menunjukkan data berdistribusi normal, oleh karena itu untuk menguji empat hipotesis yang diajukan digunakan alat uji statistik parametrik Independent Sample T-Test. Pada Independent Sample T-Test terdapat dua tahapan analisis yaitu Levene's Test dan T-Test (Santoso, 2001) Levene's Test digunakan untuk mengetahui varians dari data apakah sama (homogen) atau berbeda (heterogen). Hal ini berpengaruh pada nilai signifikansi yang diambil dari hasil T-Test.
Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan nilai signifikansi hasil T-Test sebesar 0,018, maka Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor internal locus of control  dan auditor external locus of control. Dari hasil analisis data terhadap hipotesis pertama (lihat pada lampiran) diketahui bahwa mean perilaku etis dari auditor internal locus of control adalah sebesar 39,33 dan nilai mean perilaku etis dari auditor external locus of control adalah sebesar 35,14. Secara statistik, perbedaan nilai mean tersebut cukup signifikan.
Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan nilai signifikansi hasil T-Test sebesar 0,002, maka Ho ditolak. Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor senior dan auditor yunior. Dari hasil analisis data terhadap hipotesis kedua (lihat pada lampiran) diketahui bahwa mean perilaku etis dari auditor senior adalah sebesar 34,09 dan nilai mean perilaku etis dari auditor yunior  adalah sebesar 39,54.
Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan nilai signifikansi hasil T-Test sebesar 0,246. Nilai probabilitas ini di atas tingkat signifikansi yang ditetapkan yaitu 0,05 maka Ho diterima. Kesimpulannya adalah tidak terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor pria dan auditor wanita. Dari hasil analisis data terhadap hipotesis ketiga (lihat pada lampiran) diketahui bahwa mean perilaku etis dari auditor pria adalah sebesar 36,00 dan nilai mean perilaku etis dari auditor wanita adalah sebesar  38,10.
Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan nilai signifikansi hasil T-Test sebesar 0,003, maka Ho ditolak. Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor benevolents dan auditor entitleds. Dari hasil analisis data terhadap hipotesis keempat (lihat pada lampiran) diketahui bahwa mean perilaku etis dari auditor benevolents adalah sebesar 39,77 dan nilai mean perilaku etis dari mahasiswa entitleds adalah sebesar 34,50.



Hasil Uji Proporsi


Analisis tambahan dalam penelitian ini menggunakan uji proporsi, yaitu  bertujuan untuk mengetahui persepsi auditor terhadap kode etik akuntan Indonesia. Berdasarkan persentase jawaban responden (auditor) terhadap pernyataan faktor-faktor atau substansi kode etik tentang pelaksanaan kode etik, secara umum responden menilai bahwa dalam menjalankan tugas profesinya, seorang auditor harus senantiasa menjaga ketaatan terhadap kode etik yang telah ditetapkan IAI. Secara umum responden menyatakan setuju apabila kepatuhan para auditor terhadap kode etik perlu diawasi sebagai dasar penyempurnaan pelaksanaan kode etik serta perlunya penafsiran kode etik guna memenuhi pertanyaan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan kode etik.
Hasil uji proporsi secara keseluruhan dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh responden (auditor) dalam penelitian ini memiliki persepsi positif terhadap kode etik ikatan akuntan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari persentase jawaban setuju yang lebih besar daripada jawaban tidak setuju, sehingga seluruh responden memiliki persepsi yang positif. Dengan demikian secara keseluruhan responden dalam penelitian ini berpersepsi positif terhadap kode etik yang meliputi pelaksanaan kode etik, serta penafsiran dan penyempurnaan kode etik, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh responden memiliki perilaku yang etis. Namun demikian, berdasarkan hasil pengujian hipotesis, masing-masing responden (auditor) mempunyai perbedaan rata-rata perilaku etis yang signifikan untuk setiap faktor-faktor individual yang dimilikinya.



KESIMPULAN


KETERBATASAN, DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dikumpulkan dan diolah, diketahui bahwa terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor internal locus of control dan auditor external locus of control. Secara statistik, auditor internal locus of control cenderung berperilaku lebih etis daripada auditor external locus of control. Terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor senior dan auditor yunior. Secara statitistik, auditor yunior cenderung berperilaku lebih etis daripada auditor senior. Tidak terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor pria dan auditor wanita. Secara statistik, gender tidak menyebabkan perbedaan perilaku etis yang signifikan. Terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor benevolents dan auditor entitleds. Secara statistik, auditor benevolents cenderung mempunyai perilaku lebih etis daripada auditor entitleds.
Secara keseluruhan seluruh responden (auditor) dalam penelitian ini memiliki persepsi positif terhadap kode etik ikatan akuntan Indonesia yang meliputi pelaksanaan kode etik, serta penafsiran dan penyempurnaan kode etik, sehingga seluruh responden memiliki perilaku yang etis. Kesimpulan keseluruhan yang dapat diambil bahwa setiap responden (auditor) dalam penelitian ini secara umum mempunyai perilaku yang etis, meskipun kadarnya berbeda dari masing-masing individu berdasarkan perbedaan faktor- faktor individual yang dimilikinya.



Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan sebagai berikut:
1.      Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh wilayah di Indonesia bahkan dunia akuntansi, karena ruang lingkup dari penelitian ini hanya terbatas pada wilayah Surakarta dan Yogyakarta.
2.      Penelitian ini hanya membandingkan perilaku etis auditor, tidak mencakup profesi akuntan yang lain.
3.      Peneliti menggunakan instrumen penelitian yang dikembangkan pada budaya barat, dan beberapa hal mungkin kurang sesuai dengan budaya Indonesia.
4.      Dalam penelitian ini, variabel lama pengalaman kerja hanya dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok auditor senior dan yunior, sehingga mungkin kurang mewakili masing-masing level hierarkis auditor dalam KAP. Variabel yang lain, yaitu gender, gender dalam penelitian ini ditinjau berdasarkan jenis kelamin saja, sehingga kurang memberikan hasil yang akurat.


Saran

Saran-saran yang peneliti berikan bagi kesempurnaan penelitian-penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:
1.      Penelitian selanjutnya sebaiknya memperluas area survey, tidak hanya di wilayah Surakarta dan Yogyakarta, tetapi seluruh Indonesia, sehingga akan lebih mewakili populasi dalam KAP di selurih Indonesia. Penelitian selanjutnya juga bisa memperluas obyek penelitian, tidak hanya masalah faktor-faktor atau substansi kode etik akuntan, tetapi juga mengenai dimensi etika, mengingat kode etik akuntan Indonesia tidak hanya menyangkut faktor-faktor kode etik akuntan saja.
2.      Untuk penelitian selanjutnya hendaknya lebih memperluas sampel penelitian tidak hanya auditor saja, tetapi dimasukkan juga kelompok sampel lain seperti akuntan pendidik, akuntan manajemen, dan akuntan pemerintahan, sehingga penelitian  tentang topik ini akan lebih akurat dan komprehensif.
3.      Penelitian yang akan datang sebaiknya juga mempertimbangkan faktor-faktor dalam negeri yang kiranya sangat berbeda dengan dunia barat, untuk kemudian diterapkan atau dikombinasikan dengan instrumen yang ada, sehingga akan didapatkan suatu instrumen yang sesuai dengan situasi dan kondisi responden yang dampaknya akan diperoleh data atau hasil yang lebih akurat.
4.      Penelitian yang akan datang sebaiknya tidak hanya dikelompokkan  menjadi kelompok auditor senior dan auditor yunior, tetapi untuk masing-masing level hierarkis  auditor  dalam  KAP.  Untuk  variabel  gender,  sebaiknya  untuk penelitian selanjutnya menggunakan konsep peran jenis, yang mana digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu maskulin, feminin, androgini, dan tak tergolongkan, sehingga akan diperoleh hasil penelitian yang lebih sempurna dan akurat.



REVIEW JURNAL

·      Judul                      : Analisis Perbedaan Perilaku Etis Auditor Di Kap Dalam Etika Profesi
  (Studi Terhadap Peran Faktor-Faktor Individual: Locus Of Control,
   Lama Pengalaman Kerja, Gender, Dan Equity Sensitivity)
·      Peneliti                   : Putri Nugrahaningsih
·      Tujuan Penelitian :
Untuk mengetahui secara empiris apakah terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor berdasarkan perbedaan faktor-faktor individualnya yaitu sebagai berikut:
1.    Perilaku  etis  antara  auditor  dengan  internal  locus  of  control  dan  auditor dengan external locus of control.
2.    Perilaku etis antara auditor senior dan auditor yunior.
3.    Perilaku etis antara auditor pria dan auditor wanita.
4.    Perilaku etis antara auditor yang termasuk kategori benevolents dan auditor yang termasuk kategori entitleds.
·      Variabel yang Digunakan :
1.    Variabel x : persepsi auditor
2.    Variabel y : kode etik akuntan (etika profesi)
·      Metode Penelitian:
1.    Metode Pengambilan Sampel : Metode Non Probability Sampling, yaitu Convenience Sampling Method.
2.    Metode Pengumpulan Data : dengan data primer (kuesioner), data sekunder (jurnal, sumber lain berupa buku, maupun skripsi dan tesis yang tidak diterbitkan dalam penelitian ini, dan dengan cara mendownload artikel diinternet.)
3.    Metode Analisis Data : Uji Reliabilitas, Uji Normalitas, Uji T, Uji Proporsional
·      Hasil Penelitian :
1.    Hasil Pengujian Data
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa angka korelasi untuk semua item pertanyaan menunjukkan angka yang signifikan pada level 0,01, yang ditunjukkan  dengan tanda **, disamping itu dapat dilihat pula bahwa nilai p-value dari masing-masing item pertanyaan menunjukkan nilai lebih kecil dari taraf signifikansi yang ditentukan sebesar 5%. Kesimpulannya seluruh item pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini valid, sehingga dapat diikutsertakan dalam tahap pengujian selanjutnya. Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung Cronbach’s Alpha dari masing-masing instrumen dalam satu variabel. Kemudian besarnya nilai alpha yang dihasilkan dibandingkan dengan indeks (Wulandari dalam Widiastuti, 2003). Dari hasil uji reliabilitas dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini sangat andal atau tingkat reliabilitasnya sangat tinggi. Hasil pengujian normalitas menunjukkan nilai p-value sebesar 0,672. Nilai probabilitas ini lebih besar dari taraf signifikansi (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebaran data dalam penelitian ini adalah normal, sehingga uji hipotesis penelitian bisa dilakukan dengan menggunakan alat uji statistik parametrik.
2.    Hasil Pengujian Hipotesis
Hasil pengujian normalitas menunjukkan data berdistribusi normal, oleh karena itu untuk menguji empat hipotesis yang diajukan digunakan alat uji statistik parametrik Independent Sample T-Test. Pada Independent Sample T-Test terdapat dua tahapan analisis yaitu Levene's Test dan T-Test (Santoso, 2001) Levene's Test digunakan untuk mengetahui varians dari data apakah sama (homogen) atau berbeda (heterogen). Hal ini berpengaruh pada nilai signifikansi yang diambil dari hasil T-Test.
Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan nilai signifikansi hasil T-Test sebesar 0,018, maka Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor internal locus of control  dan auditor external locus of control. Dari hasil analisis data terhadap hipotesis pertama (lihat pada lampiran) diketahui bahwa mean perilaku etis dari auditor internal locus of control adalah sebesar 39,33 dan nilai mean perilaku etis dari auditor external locus of control adalah sebesar 35,14. Secara statistik, perbedaan nilai mean tersebut cukup signifikan.
Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan nilai signifikansi hasil T-Test sebesar 0,002, maka Ho ditolak. Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor senior dan auditor yunior. Dari hasil analisis data terhadap hipotesis kedua (lihat pada lampiran) diketahui bahwa mean perilaku etis dari auditor senior adalah sebesar 34,09 dan nilai mean perilaku etis dari auditor yunior  adalah sebesar 39,54.
Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan nilai signifikansi hasil T-Test sebesar 0,246. Nilai probabilitas ini di atas tingkat signifikansi yang ditetapkan yaitu 0,05 maka Ho diterima. Kesimpulannya adalah tidak terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor pria dan auditor wanita. Dari hasil analisis data terhadap hipotesis ketiga (lihat pada lampiran) diketahui bahwa mean perilaku etis dari auditor pria adalah sebesar 36,00 dan nilai mean perilaku etis dari auditor wanita adalah sebesar  38,10.
Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan nilai signifikansi hasil T-Test sebesar 0,003, maka Ho ditolak. Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor benevolents dan auditor entitleds. Dari hasil analisis data terhadap hipotesis keempat (lihat pada lampiran) diketahui bahwa mean perilaku etis dari auditor benevolents adalah sebesar 39,77 dan nilai mean perilaku etis dari mahasiswa entitleds adalah sebesar 34,50.
3.    Hasil Uji Proporsi
Analisis tambahan dalam penelitian ini menggunakan uji proporsi, yaitu  bertujuan untuk mengetahui persepsi auditor terhadap kode etik akuntan Indonesia. Berdasarkan persentase jawaban responden (auditor) terhadap pernyataan faktor-faktor atau substansi kode etik tentang pelaksanaan kode etik, secara umum responden menilai bahwa dalam menjalankan tugas profesinya, seorang auditor harus senantiasa menjaga ketaatan terhadap kode etik yang telah ditetapkan IAI. Secara umum responden menyatakan setuju apabila kepatuhan para auditor terhadap kode etik perlu diawasi sebagai dasar penyempurnaan pelaksanaan kode etik serta perlunya penafsiran kode etik guna memenuhi pertanyaan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan kode etik.
Hasil uji proporsi secara keseluruhan dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh responden (auditor) dalam penelitian ini memiliki persepsi positif terhadap kode etik ikatan akuntan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari persentase jawaban setuju yang lebih besar daripada jawaban tidak setuju, sehingga seluruh responden memiliki persepsi yang positif. Dengan demikian secara keseluruhan responden dalam penelitian ini berpersepsi positif terhadap kode etik yang meliputi pelaksanaan kode etik, serta penafsiran dan penyempurnaan kode etik, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh responden memiliki perilaku yang etis. Namun demikian, berdasarkan hasil pengujian hipotesis, masing-masing responden (auditor) mempunyai perbedaan rata-rata perilaku etis yang signifikan untuk setiap faktor-faktor individual yang dimilikinya.
·      Kesimpulan :
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dikumpulkan dan diolah, diketahui bahwa terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor internal locus of control dan auditor external locus of control. Secara statistik, auditor internal locus of control cenderung berperilaku lebih etis daripada auditor external locus of control. Terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor senior dan auditor yunior. Secara statitistik, auditor yunior cenderung berperilaku lebih etis daripada auditor senior. Tidak terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor pria dan auditor wanita. Secara statistik, gender tidak menyebabkan perbedaan perilaku etis yang signifikan. Terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor benevolents dan auditor entitleds. Secara statistik, auditor benevolents cenderung mempunyai perilaku lebih etis daripada auditor entitleds.
Secara keseluruhan seluruh responden (auditor) dalam penelitian ini memiliki persepsi positif terhadap kode etik ikatan akuntan Indonesia yang meliputi pelaksanaan kode etik, serta penafsiran dan penyempurnaan kode etik, sehingga seluruh responden memiliki perilaku yang etis. Kesimpulan keseluruhan yang dapat diambil bahwa setiap responden (auditor) dalam penelitian ini secara umum mempunyai perilaku yang etis, meskipun kadarnya berbeda dari masing-masing individu berdasarkan perbedaan faktor- faktor individual yang dimilikinya.

REFERENSI: